Yogyakarta (ANTARA News) - Persyarikatan Muhammadiyah, yang kini telah memasuki usia 100 tahun, mempunyai pengalaman sejarah yang kaya dalam dinamika politik kebangsaan. Pada masa Orde Lama, Muhammadiyah adalah kekuatan penting dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Meskipun Masyumi dibubarkan, Muhammadiyah tetap tidak bisa jauh dari politik praktis. Berdirinya Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) juga tidak bisa dilepaskan dari peran Muhammadiyah.

Namun, di separuh perjalanan Orde Baru, Muhammadiyah kemudian menegaskan dirinya tidak mempunyai hubungan dengan partai politik melalui Khittah Ujung Pandang pada 1971.

Reformasi 1998 adalah momentum Muhammadiyah kembali terlibat dalam denyut nadi politik tanah air. Muhammadiyah secara historis-emosional membidani berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN).

"Pascareformasi banyak kader dan pengurus Muhammadiyah terlibat dalam politik kepartaian," kata pengamat sosial politik dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Ahmad Syafii Maarif.

Pada tingkat tertentu, tergiringnya warga Muhammadiyah pada pertarungan politik kekuasaan, jika tidak dikelola secara baik, berpotensi untuk mengalihkan perhatian dari kerja-kerja kemanusiaan besar yang selama ini digeluti.

Sebagian masyarakat melihat aktivitas politik menjadi lahan yang ampuh untuk melakukan mobilitas vertikal. "Orientasi politik pragmatis merasuki pusat saraf kesadaran kader persyarikatan," katanya.

Situasi itu membawa akibat yang kurang baik bagi gerak Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah "amar ma`ruf nahi munkar" (mengajak mengerjakan kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar), sehingga perhatian terhadap bidang-bidang yang selama ini menjadi garapan utama akan semakin ditinggalkan.

"Aktivitas politik memang diperlukan. Namun aktivitas politik untuk keperluan perubahan adalah yang dilandasi idealisme untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik," kata mantan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu.



Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Abdul Munir Mulkhan mengatakan, arah gerak Muhammadiyah yang sesungguhnya berorientasi pada perluasan upaya pemberdayaan umat membutuhkan dukungan dan keseriusan dari kadernya.

"Kader-kader terbaik Muhammadiyah jangan sampai hijrah ke politik. Seyogianya harus ada yang tetap tinggal untuk mengurusi Muhammadiyah dan memperkuat posisinya sebagai kekuatan masyarakat sipil yang mantap," katanya.

Hal itu cukup relevan ketika Muhammadiyah ingin memantapkan diri sebagai kekuatan masyarakat sipil yang kuat di tengah budaya politik pragmatis yang sedikit banyak tentu menggerogoti idealisme warga persyarikatan.

Muhammadiyah telah memilih jalur sebagai kelompok penekan, bukan jalur politik kepartaian, sehingga harus semakin memantapkan diri untuk meneruskan perjuangan dalam mengalokasikan nilai-nilai "amar ma`ruf nahi munkar" sebagai kekuatan budaya yang memberikan penyadaran, pencerahan, dan pemberdayaan kepada umat.

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Arie Sujito MSi mengatakan, posisi perjuangan Muhammadiyah perlu ditinjau dan dirumuskan ulang mengingat situasi politik penuh dengan intrik.

"Muktamar Satu Abad Muhammadiyah merupakan momentum yang tepat untuk meninjau ulang posisi perjuangannya sebagai organisasi kemasyarakatan berbasis Islam," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM itu.

Hal itu berarti Muhammadiyah bukan sekadar menjadi kekuatan besar yang "ditakuti", tetapi lebih pada peran sebagai penyebar nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan untuk mengubah pola pikir politik saat ini yang cenderung pragmatis.

Dalam konteks itu, Muhammadiyah harus menjadi organisasi yang ikut membangun peradaban bangsa Indonesia, bukan justru terjebak dalam kancah politik praktis.

"Muhammadiyah jangan sampai mengalami kemunduran karena hanya `direcoki` dan ditunggangi kepentingan politik dari berbagai pihak," katanya.

Oleh karena itu, Muhammadiyah sebaiknya tidak masuk ke politik praktis, tetapi harus ikut berjuang membersihkan politik dari praktik-praktik kotor.

"Muhammadiyah jangan sampai berafiliasi dengan partai politik, tetapi harus membawa persyarikatan tersebut pada posisi netral di kancah politik nasional," katanya. (B015/H-KWR)